Apa yang dimaksud dengan Kebiasaan?
Tidak ada orang yang terlahir dengan rasa minder. Tidak ada orang yang terlahir dengan kebiasaan menggigit kuku, mengupil, atau kecenderungan untuk menunda.
Itu semua adalah tingkah laku yang dipelajari, dan begitu sering kita praktekkan, sehingga menjadi bagian dari sifat alami kita.
Karena semua itu hanyalah bagian dari, dan bukan sifat alami kita, berarti dengan menghilangkannya, semakin mendekatkan kita dengan jati diri kita yang sesungguhnya.
Karena telah mempraktekkannya begitu lama dan dikondisikan untuk memilikinya, kita jadi merasa bahwa kebiasaan-kebiasaan itu menjadi bagian dari diri kita, yang membentuk jati diri kita. Padahal sebenarnya bukan.
Sama seperti skill-skill penting lain yang kita pelajari, misalnya berbicara, makan, dan berjalan, kebiasaan adalah tingkah laku yang kita pelajari dari melihat dan meniru orang lain, karena sepertinya kebiasaan-kebiasaan itu membuat mereka tampak hebat atau merasa senang.
Motivasi untuk mempelajarinya juga sama, yaitu karena kita percaya bahwa kebiasaan-kebiasaan tersebut akan membuat kita bahagia.
Jadi, kita mempraktekkannya, karena percaya bahwa itu bukan cuma akan membuat kita merasa, tapi juga menjadi orang yang lebih baik, dan mewujudkan apa yang kita anggap sebagai orang yang kita cita-citakan.
Kita semua percaya bahwa dibalik semua tingkah laku itu ada niat awal yang positif.
Otak kita hanya akan menyarankan apa yang dianggap sebagai cara terbaik dan paling efektif untuk membuat kita merasa lebih baik. Itu dipelajarinya dari tingkah laku kita dimasa lalu, dari apa yang membuat kita merasa lebih baik, atau lebih nyaman.
Karena biasanya kita belajar dengan sangat cepat, maka kebiasaan akan terbentuk dengan sangat cepat. Merokok, misalnya.
Kita mengawasi orang yang merokok, dan karena terlihat cool, kita menganggapnya sebagai cara yang benar dan bermanfaat untuk ditiru.
Lalu kita memutuskan untuk mencobanya, meski awalnya sulit dan menyakitkan. Menurut anda, berapa banyak orang yang menikmati rokok pertama mereka?
Namun mereka tetap menjalaninya agar bisa seperti orang lain. Hubungan antara merokok dengan tampak cool itu adalah sesuatu yang dipelajari dan terekam di otak kita, sehingga kita menganggap merokok itu sama dengan cool.
Kebiasaan itu tidak muncul begitu saja. Otak kita yang menyarankannya, menurut apa yang dianggapnya terbaik, atau apa yang dulu mungkin pernah berhasil menghilangkan rasa tidak nyaman atau sepertinya menarik.
Jadi, setiap kali merasa tidak nyaman, itu akan memicu otak untuk mengatasinya dengan menyarankan apa yang dulu pernah membuat kita merasa lebih baik, meski cara itu sudah tidak lagi efektif.
Di tahun 1940-an, B F Skinner, seorang psycholog behavioural membangun dua buah maze (jaringan jalan yang rumit). Satu untuk tikus dan satunya lagi untuk para siswa.
Sebagai hadiah untuk menemukan bagian tengah (center), pada tempat pertama (untuk tikus) dia menaruh coklat, dan ditempat kedua dia menaruh $10.
Para tikus dan siswa berlari berputar maze sampai mereka menemukan hadiah. Saat coklat disingkirkan dari tempat pertama, tikus tidak lagi menunjukkan ketertarikannya untuk menemukan bagian center dari maze.
Namun berbeda dengan para siswa, mereka akan terus menelusuri maze untuk mencari bagian tengah, meski mereka tahu bahwa sudah tidak ada lagi uang yang bisa mereka temukan disana.
Itu yang disebut dengan kebiasaan. Begitu terbentuk, akan terus dilakukan, meski sudah tidak lagi alasan untuk melakukannya.
Pete menulis: Saat masih remaja, aku punya seekor anjing, dan terbiasa melihatnya disekitar rumah. Aku selalu melihatnya, dan dia akan datang setiap kali aku memanggil namanya.
Meski anjing itu sudah mati 10 tahun yang lalu, namun setiap kali aku mengunjungi rumah orang tua ku, aku masih berharap dia akan berada di sana, berlari untuk menyambut ku.
Ini menunjukkan tingkah laku yang dikondisikan. Polanya mirip dengan cara yang telah membentuk dan mempertahankan berbagai kebiasaan. Meski kita coba untuk menghentikannya, namun otak kita tetap menyarankannya.
Karena kita telah banyak menghabiskan waktu untuk melakukannya, namun otak kita tetap saja membujuk kita bahwa tindakan itulah yang terbaik.
Tapi bagaimana dengan tingkah laku?
Contohnya saat seseorang merasa tidak nyaman berada dalam ruangan yang penuh dengan orang yang tidak dia kenal, maka otak akan menyarakannya untuk merokok, karena kebiasaan itu membuatnya merasa lebih tenang.
Meski mereka yang gemuk ingin menurunkan berat badannya, namun otak mereka tetap menyarankan makanan saat mereka merasa tidak nyaman, karena selama bertahun-tahun, makan selalu membuatnya merasa lebih baik.
Bagi sebagian yang lain, menggigit kuku mungkin membuatnya merasa nyaman saat menemui situasi yang sulit atau menegangkan.
Karena sebelumnya tingkah laku ini efektif untuk menghilangkan rasa tidak nyaman akibat berbagai situasi yang tidak nyaman ini, sehingga melatih otak kita untuk melihatnya sebagai solusi dan menyarankannya setiap kali perasaan tidak nyaman itu muncul.
Sehingga membuat tingkah laku tersebut menjadi sebuah kebiasaan.
Saat kita mulai menjadikannya sebagai kebiasaan, maka kita akan mematuhi kecenderungan otak untuk membuat kita bertingkah laku dengan cara yang dipercayainya adalah yang terbaik untuk kita.
Coba pertimbangkan kebiasaan berikut ini: jika dulu anda seringkali memakan sesuatu yang manis untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit, maka otak akan menjadi terkondisi untuk menyarankan sesuatu yang manis setiap kali anda merasa tidak nyaman.
Kita akan terus mempraktekkan kebiasaan apapun yang telah kita pelajari hingga ke titik dimana kita sangat ahli dalam melakukannya, sehingga kita tidak perlu lagi berpikir untuk bisa melakukannya.
Begitu ahlinya sehingga kita terbiasa menunda, menggigit kuku, atau merasa stress atau bersalah, sehingga kita tidak menyadari bahwa kebiasaan ini tidak ada lagi manfaatnya.
Kita akan sampai pada tahap dimana kita hanya mengikuti perasaan dari suatu tingkah laku yang sudah menjadi kebiasaan. Sebagian kita masih bisa menikmati kebiasaan saat melakukannya, meski dia merasa menyesal sesudahnya.
Selama perang dunia ke II, sejumlah serdadu Jepang ditugasi untuk merebut dan menjaga pula kecil di Pasific. Mereka diperintahkan untuk menembak setiap penyusup atau musuh Jepang.
Tanpa kontak radio, mereka menolak untuk menerima fakta bahwa perang sudah lama berakhir. Setiap hari, mereka terus memakai seragam, membersihkan senjata, dan menunggu kapal musuh yang melintas untuk menembaknya.
Sejumlah serdadu ini masih bisa ditemukan hingga tahun 1970-an, karena ketahuan sedang menembaki kapal nelayan.
Untuk menyadarkan mereka, seorang tentara Jepang dengan pangkat sersan dikirim ke pulau tersebut. Dengan menggunakan seragam lamanya. dia berterima kasih pada mereka menginformasikan bahwa perang sudah berakhir.
Tingkah laku mereka yang telah terkondisi sejak lama, sekarang mulai bisa digantikan dengan aksi yang lebih bersahabat pada dunia luar.
Kisah ini menggambarkan bagaimana manusia akan bertingkah laku. Kita akan terus bertindak dalam cara yang sama, meski tidak lagi efektif, karena merasa tidak tahu bahwa kita punya pilihan lain. Padahal sebenarnya kita punya.
Tanyakan pada diri sendiri: menurut anda, apakah anda bisa memilih untuk menerima atau menolak instruksi dari otak?
Ya, anda bisa memilih. Dan anda bebas untuk menolak atau menerimanya.
Dengan kemauan dan sikap yang terbuka untuk suatu perubahan, akan menyadarkan anda bahwa anda punya pilihan yang tidak terbatas.